Digital Harassment

Teknologi dan informasi adalah dua hal yang berjalan seimbang dalam perkembangannya. Ketika teknologi berkembang, informasi juga berkembang. Hal ini terjadi seiring penggunaan teknologi sebagai sarana dalam menyebarkan informasi. Kecepatan perkembangan teknologi dan penyebaran informasi bak pedang bermata dua. Di satu sisi, perkembangan ini dapat menjadi hal positif dalam membawa wawasan dan meningkatkan kemampuan seseorang dalam menggunakan teknologi sebagai sarana untuk menyebarkan informasi yang bermanfaat. Di sisi lain, perkembangan ini dapat menjadi negatif ketika teknologi digunakan untuk menyebarkan informasi yang tidak seharusnya.

Salah satu wujud dari sisi negatif perkembangan teknologi dan penyebaran informasi adalah terjadinya digital harassment. Digital harassment adalah bentuk dari pelecehan yang terjadi di dunia maya. Bagaimana hal tersebut dapat terjadi? Bagaimana perkembangannya? Apakah yang dapat kita lakukan dalam mencegah meluasnya digital harassment? Melalui makalah ini, penulis akan menjelaskan mengenai digital harassment dan bagaimana kita sebagai pengguna teknologi dapat mencegah meluasnya digital harassment terjadi.

Perkembangan di dunia internet mendukung perkembangan dan penyebaran informasi. Perkembangan terjadi sangat cepat dan tidak dapat dikontrol penyebarannya. Semua orang dapat mengakses internet, dari usia muda hingga usia tua. Tidak adanya batasan usia dalam penggunaan internet membuat informasi yang ada di internet dapat dikonsumsi oleh siapa saja.

Berbagai informasi yang beredar dapat memberi keuntungan, kerugian, atau mungkin tidak memberi keuntungan apa-apa, tergantung siapa yang mengkonsumsinya. Dua pengaruh ini bergantung dari siapa yang mengkonsumsi informasi, dan jenis informasi apa yang dikonsumsi. Misalnya, iklan pop-up handphone merek X yang muncul ketika sedang mengakses suatu situs berita. Iklan tersebut menjadi keuntungan bagi orang yang kebetulan sedang membutuhkan informasi mengenai jenis handphone terbaru dari merek X. Akan tetapi, ikan tersebut akan menjadi kerugian bagi orang yang sedang sangat membutuhkan informasi dari situs berita tersebut. Lain halnya bagi orang yang membuka situs berita tersebut untuk mengisi waktu luang. Ia sedang tidak diburu kepentingan akan suatu informasi, dan ia juga tidak menganggap iklan pop-up tersebut sebagai sesuatu yang penting.

Kasus pada iklan pop-up di atas hanyalah contoh masalah yang ringan dari kasus peyebaran informasi di internet. Bila hendak melihat lebih dalam lagi, banyak permasalahan yang lebih serius terjadi akibat penyebaran informasi di internet. Salah satunya, tidak ada kontrol terhadap pengakses informasi tersebut. Yang dimaksud dalam hal ini adalah, usia pengguna internet yang beragam, mulai dari usia muda (anak-anak) hingga usia dewasa. Efek yang paling terlihat dari hal ini adalah kasus pornografi di internet. Apabila kita mau mengingat ke beberapa kasus yang pernah beredar di media, yang paling banyak terjadi adalah tersebarnya foto-foto dengan pose vulgar milik seseorang, dan foto-foto tersebut disebarkan tanpa izin dari pemiliknya. Kasus ini termasuk dalam digital harassment.

Digital harassment dalam arti sempit adalah pelecehan dalam dunia digital. Digital harassment memiliki pengertian yang hampir sama dengan cyber bullying, yaitu pelecehan atau kekerasan dalam dunia maya. Namun, digital harassment lebih mengacu pada pelecehan yang dilakukan antara dua orang yang pernah menjalin hubungan kekasih. Salah satu faktor yang mendukung terjadinya digital harassment adalah perkembangan teknologi yang sangat pesat, dan mudahnya generasi sekarang dalam mempelajari penggunaan teknologi.

Tidak dapat dipungkiri, peer pressure, atau tekanan yang berasal dari lingkungan pergaulan usia sebaya, dapat menjadi faktor dari mudahnya seseorang dalam menggunakan teknologi. Misalnya penggunaan blackberry di kalangan remaja ibu kota – bahkan sekarang telah merambah ke daerah – menjadikan blackberry sebagai suatu trend yang harus diikuti. ‘Ketinggalan jaman’, ‘nggak gaul’, adalah cap yang akan diberikan bagi mereka yang tidak mengikuti trend penggunaan blackberry ini. Tekanan ini merupakan contoh dari peer pressure. Kaum remaja yang tadinya tidak ingin menggunakan blackberry pada akhirnya menggunakan perangkat komunikasi tersebut agar tetap mendapat pengakuan dari teman-teman sebayanya. Padahal, blackberry tersebut hanya digunakan untuk mengakses situs jejaring sosial. Fitur-fitur lain seperti push-mail, browser, dan fitur-fitur lain yang mungkin sebenarnya merupakan fitur utama yang disediakan oleh blackberry, tidak digunakan sama sekali.

Fenomena inipun memicu terjadinya digital harassment. Gaya pacaran kaum muda sekarang erat dengan penggunaan teknologi dan internet. Di satu sisi, hal ini dapat menjadi hal positif karena mendukung terjadinya komunikasi yang cepat, dan tidak terhalang waktu dan jarak. Namun di sisi lain, hal ini dapat menjadi hal negatif apabila hubungan tersebut tidak seimbang. Sering kali yang terjadi dalam hubungan anak muda dengan usia yang masih labil, satu pihak mengambil kontrol paling banyak, dan pihak yang lainnya hanya diam dan menuruti apapun yang dikehendaki oleh pihak lainnya. Sikap ini biasanya muncul karena faktor takut kehilangan.

Kondisi ini patut diwaspadai karena dapat memicu terjadinya digital harassment. Misalnya, pihak yang memiliki kontrol paling banyak dalam suatu hubungan dapat melakukan manipulasi dengan menggunakan perangkat teknologi atau perangkat digital sebagai pelampiasan. Sering dijumpai, salah satu pihak meminta pihak lainnya untuk melakukan hal-hal aneh seperti meminta foto-foto dengan pose tidak senonoh. Akan tetapi, digital harassment tidak melulu berkaitan dengan aksi pornografi. Digital harassment juga dapat berupa pembobolan atau menembus batas prvasi seseorang. Misalnya, salah satu pihak meminta kata sandi dari akun situs jejaring sosial pihak lainnya, kemudian menelusuri tiap informasi atau aktivitas yang dilakukan dalam situs jejaring sosial tersebut. Apabila ia menemukan hal yang tidak ia sukai, ia akan meminta pemilik akun tersebut untuk menghentikan hal tersebut. Misalnya, meminta pihak lainnya untuk memutuskan kontak dengan seseorang yang ia cemburui, bahkan sampai meminta pihak tersebut untuk menghapus akunnya dari situs jejaring sosial tersebut.

Orang yang berada di luar hubungan tersebut dapat menganggap digital harassment ini sebagai hal yang serius dan harus dihentikan. Tidak jarang kita temui kerabat dekat dari pihak yang dilecehkan meminta pihak tersebut untuk menghentikan hubungannya. Mereka bahkan juga meminta pihak yang dilecehkan untuk melaporkan pihak yang melecehkan ke pihak yang berwajib (pada kasus permintaan foto-foto dengan pose tidak senonoh, misalnya). Akan tetapi, pihak yang dilecehkan seringkali tidak bertindak apa-apa. Beberapa dari mereka menganggap hal itu wajar. Beberapa juga merasa takut akan mendapatkan perlakuan yang lebih buruk apabila mereka melaporkan hal tersebut pada pihak yang berwajib.

Adanya undang-undang maupun regulasi lain yang mebatasi penggunaan internet untuk maksud yang tidak baik, tidak menjamin berkurangnya kasus digital harassment. Kasus serupa dapat terus terjadi bahkan dapat menjadi lebih berkembang apabila tidak ada kepedulian dari masyarakat, atau para pengguna internet. Bahkan, keengganan dari korban digital harassment untuk melaporkan pelecehan yang mereka terima, dapat meninggalkan pelaku digital harassment dalam ketenangan karena tidak terkena aksi dari pelanggaran hukum yang mereka lakukan.

Menunggu pemerintah untuk bertindak mengatasi kasus ini dapat dikatakan menjadi hal yang sia-sia, karena pemerintah lamban. Undang-undang ITE yang rancu, pembahasan RUU Pornografi yang tak kunjung usai, tidak bisa menjamin pelaku digital harassment akan mendapatkan sanksi yang sesuai. Namun bukan berarti kita tidak dapat melakukan sesuatu untuk mencegah hal ini semakin meluas. Beberapa hal yang dapat kita lakukan antara lain:

  1. Mengkampanyekan internet sehat. Internet sehat adalah kondisi dimana informasi yang beredar di internet tidak merugikan orang lain. Yang dimaksud dengan merugikan misalnya menyinggung, melanggar privasi, merendahkan martabat seseorang, hingga pelecehan seksual ringan maupun berat. Internet sehat dapat dimulai dari diri kita sendiri dengan tidak menyebarkan informasi yang menyinggung seperti membicarakan perilaku buruk seseorang pada akun situs jejaring sosial milik kita. Kita juga bisa mengkampanyekan internet sehat melalui blog atau akun jejaring sosial pribadi milik kita.
  2. Pendekatan yang tepat terhadap anak oleh orang tua. Salah satu faktor terjadinya digital harassment adalah kurangnya perhatian dari orang tua terhadap anak, sehingga anak melampiaskan segala perasaan dan keinginannya pada orang lain yang mereka anggap dapat mengerti apa yang mereka rasakan. Namun hal ini menjadi masalah ketika anak melampiaskan pada orang yang salah. Ketika orang tua melakukan pendekatan yang tepat, anak akan merasa nyaman dan akan menceritakan segala permasalahannya pada orang tua. Sehingga, orang tua dapat lebih mudah melakukan pengawasan pada anak, dan digital harassment dapat dihindari.
  3. Bimbingan yang tepat mengenai penggunaan internet. Salah satu tempat dimana seseorang belajar menggunakan internet adalah di sekolah, lembaga pelatihan tertentu, atau bahkan di rumah. Dimanapun seseorang belajar menggunakan internet, pembimbing (orang tua/guru) harus membimbing dengan benar. Dalam hal ini, dapat diajarkan bagaimana etika dalam berinternet, dll.

Usaha-usaha yang disebutkan di atas hanyalah sebagian dari usaha yang dapat kita lakukan dalam mencegah meluasnya digital harassment. Akan tetapi, usaha-usaha kecil yang apabila dilakukan secara konsisten, dapat memberikan dampak yang besar dalam mengurangi kasus digital harassment. Yang diperlukan adalah komitmen, dan rasa kepedulian terhadap orang-orang di lingkungan sekitar kita, untuk mencegah mereka dan diri kita sendiri dari kasus digital harassment.

Teknologi dan perkembangannya serta informasi dan penyebarannya adalah hal yang tidak dapat kita kendalikan. Penggunaan internet pun tidak dibatasi. Begitu pula kita tidak dapat membatasi atau melarang seseorang dalam menggunakan teknologi atau memasukkan informasi dalam dunia maya. Hal yang dapat kita lakukan adalah mengingat dan melaksanankan tanggung jawab kita sebagai pengguna internet yang bijak. Salah satunya dengan tidak menyebarkan informasi yang menyinggung atau merendahkan martabat seseorang. Sebaliknya, kita dapat memberikan informasi yang mendidik dan mengarahkan pada internet yang sehat.

Hal lain adalah, melakukan pendekatan dan menjaga hubungan dengan orang-orang di sekitar kita. Kenyamanan yang kita berikan pada orang-orang terdekat kita tentu akan mencegah mereka dari rasa kesendirian dan membuat mereka melampiaskan setiap keluh kesah pada orang yang tepat. Melalui usaha-usaha ini diharapkan digital harassment dapat berkurang dan tidak lagi merugikan banyak pihak.

Source:

Gary Krug. (2005). Communication Technology and Cultural Change, Sage Publication. London. ISBN: 0 7619 7200 5(GK) – Chapter 6-7.

ICT Watch. (2004). Apa itu Internet Sehat?. Disadur dari: http://www.bebas.vlsm.org/v17/com/ictwatch/cyberwise/

Tim Internet Sehat. (2011). Amankan Anak Anda ari Ancaman Digital harassment!. Disadur dari: http://ictwatch.com/internetsehat/2011/05/20/amankan-anak-anda-dari-ancaman-digital-harassment/

(Tulisan dibuat sebagai tugas pertemuan 10, mata kuliah Perkembangan Teknologi Komunikasi, responsi terhadap Bab 6 dan 7 buku “Communication Technology and Cultural Change” (Krug, 2005))

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Leave a Reply